Penghayat Kepercayaan diantara Penganut Agama Resmi
Ilustrasi(gesuri.id) |
Kemarin siang, kamis (20/02) saya lanjutkan lagi perjalanan menuju pekon Panutan kecamatan Pagelaran kabupaten Pringsewu untuk menemui kepala desa setempat.
Tujuan saya untuk Identifikasi Potensi Dakwah di desa/pekon tersebut.
Tepatnya habis sholat duhur, buru-buru saya nyalakan lagi kendaraan roda dua tuaku sambil berharap cuaca yang mendung ini tidak segera turun hujan. Maklum, musim hujan begini bisa menjadi faktor penghambat tugas penyuluh yang memang harus turun ke lapangan, menyapa warga binaan.
Alhamdulillah sudah dua kepala pekon di dua desa berbeda yakni pekon Gemahripah dan Gumukmas telah saya jumpai hari ini. Silaturahmi dan koordinasi dengan aparat pekon, sharing informasi banyak hal tentang dinamika desa makin menambah wawasan.
Intensitas komunikasi antara penyuluh agama dengan semua elemen masyarakat diperlukan agar semua pihak dapat saling merespon adanya potensi, hambatan maupun tantangan yang terjadi di tengah masyarakat.
Tak membutuhkan waktu lama, aku telah berada di parkiran sebuah gedung mungil di pojok utara desa Patoman yang letaknya berdampingan dengan Puskesmas,.Sekolah Dasar dan beberapa bangunan rumah warga yang terlokalisasi di ujung aspal desa ini.
Memang, balai desa ini terletak seolah di tengah persawahan yang jalan menuju kesana dihubungkan jembatan kecil dari induk desa.
"Wa'alaikum salam". Jawab Pria berkacamata yang ternyata adalah kepala pekon Panutan, Agus Tri sambil menyalami setelah sesaat lalu saya ucapkan salam dari pintu depan yang sudah terbuka.
Saya langsung disambutnya dan di persilakan duduk di ruangan ujung balai pekon tersebut. Nampak hanya ada tiga ruangan di balai pekon ini, pada tiap ruang terlihat para aparat desa sedang sibuk pada pekerjaanya.
Sementara di sudut kiri dari pintu masuk terdapat space meja panjang yang agak tinggi yang di peruntukkan untuk pelayanan langsung kepada masyarakat.
Nampak, balai pekon yang tidak begitu luas ini sudah cukup fungsional untuk pelayanan masyarakat di desa yang berpenduduk 2.850 jiwa, terdiri atas 5 Dusun dan 11 RT, serta 855 Kepala Keluarga. Dusun tersebut meliputi Panutan I, Panutan II, Panutan III, Panutan IV, serta Panutan V.
Setelah memperkenalkan diri dengan menunjukkan surat tugas dari KUA Pagelaran, Agus Tri sesekali mengangguk saat menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan saya.
Sesekali ia membetulkan letak kacamatanya, sambil tersenyum ramah menimpali tiap percakapan kami seputar kerukunan umat beragama, angka perceraian hingga soal visi misi dia dalam memajukan desanya.
Yang menarik saat pembicaraan kami seputar Agama dan kepercayaan. Walaupun mayoritas warga di Panutan ini beragama Islam dan sebagian besar beretnis Jawa, Perkembangan aliran kejawen cukup kentara di desa ini terutama di dusun Panutan V.
Seperti kita tau sebagian masyarakat jawa amat kental sekali dengan aliran kepercayaan dan kebatinan, walaupun penganutnya saat ini terbilang kecil dan minoritas.
Kepercayaan jawa sering disebut aliran kejawen pada mulanya merupakan bentuk spiritualitas khas jawa bisa dalam bentuk seni, budaya, ritual hingga filosofi tentang tata krama dan aturan hidup bernilai kebajikan. Sedangkan kepercayaan asli masyarakat jawa sebelum datangnya agama hindu, budha, Islam dan kristen lebih condong pada animisme dan dinamisme.
Agus Tri menerangkan benar bahwa ada sebagian kecil warganya di dusun Panutan 5 merupakan penganut kepercayaan Sapto darmo.
Sapto darmo, sapta darma merupakan salah satu dari sekian banyak aliran kepercayaan jawa yang masih di hayati oleh masyarakat. Penghayat kepercayaan ini melakukan ritual dengan sujud menghadap ke timur.
"Sembahyang mereka dengan bersedekap sambil bersujud menghadap ke arah timur." Terangnya.
Para penghayat kepercayaan ini juga mempunyai jejaring ekonomi yang kompak, dimana masing-masing anggota saling membantu permodalan dalam bentuk membuka usaha warung rumahan.
Sedangkan mengenai penyebaran kepercayaan ini, menurut Agus melalui jasa pengobatan atau pertabiban kepada masyarakat yang membutuhkan.
"Beberapa orang akan tertarik bergabung dengan sapto darmo pada mulanya karena sembuh oleh pengobatan yang ditawarkan oleh anggota kepercayaan ini." Lanjutnya.
Dari keterangan seputar Sapto Darmo oleh kepala desa Panutan, kita harus menyadari, di tengah masyarakat kita berkembang banyak sekali aliran dan kepercayaan.
Penghayat kepercayaan tentu berbeda dengan penghayat agama resmi yang ada di Indonesia. Dulu sebelum putusan MK november 2017 tentang aliran kepercayaan, kolom agama di KTP di kosongkan, kini mereka dapat mencantumkanya sebagai "penghayat kepercayaan kepada Tuhan YME".
Bila secara administrasi kependudukan saja berbeda, tentu dalam hal peribadatan baik itu pernikahan dan pemakaman juga berbeda dengan para pemeluk enam agama resmi yang ada.
Apakah aliran kepercayaan ini kemudian mempunyai tata cara tersendiri dalam pengurusan jenazah misalnya?
Berdasarkan cerita yang beredar di masyarakat-dan ini masih perlu diverifikasi, soal pengurusan jenazah penghayat yang masih menimbulkan kebingungan. Kadang terjadi jenazah diurus oleh tetangga dan saudaranya yang muslim dengan tata cara agama Islam. Pernah juga diikutkan tata cara agama Hindu.
Kondisi demikian perlu segera disikapi agar tidak menimbulkan pertanyaan dan kebingungan di tangah masyarakat.
Yang harus kita jaga adalah Toleransi dan Kerukunan. Jangan sampai adanya perbedaan agama maupun kepercayaan menghalangi kita untuk saling sapa dan bekerjasama dalam memajukan desa.
Barangkali diantara pembaca ada yang punya masukan atau pengalaman soal aliran kepercayaan? Silahkan share di kolom komentar.
Comments
Post a Comment